BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum adalah sebuah aturan mendasar
dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian
ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam
tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang
mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana
merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum
pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan
dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya, seiring
berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan sektor
perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan
berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat dihindari.
Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik
individu maupun kelompok.
Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai berikut ; “Perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak
pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum pidana latar belakang
orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam diri pelaku
yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut
determinisme. Dalam makalah ini akan membahas mengenai cara merumuskan
perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak pindana serta subjek tindak pidana
itu sendiri.
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum
Pidana adalah kitab undang-undang hukum yang berlaku sebagai dasar hukum di
Indonesia. KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia, dan
terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak
pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana
formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara
merumuskan perbuatan pidana?
2.
Sebutkan jenis-jenis
tindak pidana ?
3.
Siapa saja subjek
tindak pidana ?
C.
Tujuan
1.
Untuk memahami cara
merumuskan perbuatan pidana;
2.
Untuk mengetahui
jenis-jenis tindak pidana;
3.
Untuk mengetahui subjek
tindak pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Sebagaimana
yang kita ketahui bersama, hukum pidana Indonesia merupakan hukum pidana yang
berasal dari masa kolonialisme Belanda. Meskipun demikian, dalam kenyataannya,
ketentuan mengenai hukum pidana sebenarnya sudah ada sejak masa
kerajaan-kerajaan di Nusantara masih berjaya. Pada masa itu hukum pidana lebih
dikenal dengan istilah pidana adat, yang umumnya tidak tertulis dan bersifat
lokal serta hanya berlaku untuk satu wilayah hukum atau kerajaan tertentu.
Dalam hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tegas antara hukum pidana
dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang
bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem
hukum Eropa, yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam
pelbagai literatur, hukum pidana yang berlaku di Indonesia dapat dibagi dalam
tiga masa: masa sebelum penjajahan Belanda; masa sesudah kedatangan penjajahan
Belanda; dan masa setelah kemerdekaan.
1. Masa
Sebelum Penjajahan Belanda
Tercatat terdapat
beberapa hukum pidana yang pernah ada dan berlaku di beberapa wilayah hukum
kerajaan-kerajaan di Nusantara, antara lain: Ciwasana atau Purwadhigama pada
abad ke-10 di masa Raja Dharmawangsa; Kitab Gajamada pada pertengahan abad ke
-14, yang diberi nama oleh Mahapatih Majapahit, Gajahmada; Kitab Simbur Cahaya
yang dipakai pada masa pemerintahan Ratu Senuhun Seding di Palembang; Kitab
Kuntara Raja Niti di Lampung yang digunakan pada awal abad 16; Kitab Lontara’
ade’ yang berlaku di Sulawesi Selatan sampai akhir abad 19; Patik Dohot Uhum ni
Halak Batak di Tanah Batak; dan Awig-awig di Bali. Kitab-kitab tersebut hanya
sebagian dari hukum pidana yang pernah berlaku di wilayah Nusantara.
2. Masa
Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
3. Masa
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Hukum
yang pertama kali digunakan oleh VOC pada pusat-pusat perdagangan mereka di
Nusantara adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC (Scheeps Recht).
Hukum kapal ini terdiri dari dua bagian, yaitu hukum Belanda kuno dan asas-asas
hukum Romawi. Dalam perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan Octrooi Staten
General, sehingga dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah yang memiliki
hak istimewa untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya, VOC kemudian
mengeluarkan instruksi atau maklumat dalam bentuk plakat-plakat (plakaten).
Pada
awalnya plakat tersebut hanya berlaku untuk wilayah kota Betawi. Namun seiring
dengan kekuasaannya yang semakin meluas juga diberlakukan di seluruh wilayah
VOC. Dikarenakan sejak awal tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan
teratur, Gubernur Jenderal Van Diemen kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker
untuk menyusun dan mengumpulkan plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal
dengan istilah Statuten van Batavia.
Dengan demikian pada masa VOC telah berlaku:
a) Hukum
statuten (termuat di dalam Statuta Batavia);
b) Hukum
Belanda yang kuno;
4. Masa
Kemerdekaan
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia merupakan titik puncak perlawanan bangsa
Indonesia terhadap penjajahan dan juga ungkapan tekad untuk mengubah sistem
hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional. Meskipun demikian, untuk membuat
satu sistem hukum yang bersifat nasional tentu saja bukan perkara mudah dan
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, untuk mengisi
kekosongan hukum, Undang-Undang Dasar 1945 kemudian memberikan kelonggaran
melalui Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 dengan menyatakan: “Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian
menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa
kolonial di masa kemerdekaan.
Untuk
melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan
Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala
Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17
Agustus 1945.
Dengan
adanya Peraturan Presiden tersebut tentu saja makin memperjelas dan mempertegas
pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan yang pernah ada pada masa
kolonial sampai dengan adanya peraturan baru yang dapat menggantikannya.
Demikian pula halnya dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana -juga diberlakukan.
B.
CARA
MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA
Didalam KUHP, juga
didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana dirumuskan
didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum
pidana kepastian hukum atau lex certa merupakan hal
yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1
KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih
diperlukan penafsiran.
Dalam hukum pidana
Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak pidana
umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan
dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih
lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.
Dalam buku II
dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik
perumusan perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan hukum
yang dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barangsiapa
yang melanggarnya atau tidak menaatinya diancam dengan pidana
maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan yang diperintahkan untuk
dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang harus dipunyai oleh
pembentuk delik agar ia dapat dipidana.
Teknik
yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik menurut jonkers (terjemahan
Bina Aksara 1987 : 136-137) ialah dengan menerangkan atau menguraikannya,
misalnya rumusan delik menurt pasal 279, 281, 286, 242 KUHP. Cara yang kedua ialah
pasal undang-undang tertentu menguraikan unsur-unsur perbuatan
pidana, lalu ditambahkan pula kualifikasi atau sifat dan gelar delik
itu, misalnya pemalsusan tulisan (pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP),
penggelapan (pasal 372 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP). Cara yang ketiga ialah
pasal undang-undang tertentu hanay menyebut kualifiasi (sifat, gelar) tanpa
uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian unsur-unsur delikd diserahkan
kepada yurisprudensi dan doktrin. Misalnya, perdagangan perempuan dan
perdagangan laki-laki yang belum cukup umur (minderjarige), pengania
(pasal 351 KUHP). Kedua pasal tersebut tidak menjelaskan arti perbuatan
tersebut, menurut teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “
menimbulkan mestapa atau derita atau rasa sakit pada orang lain pada orang
lain.
Dalam KUHP terdapat 3
dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
1.
Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan
Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka
dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:
a.
Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan
Ancaram Pidana
Cara pertama ini adalah merupakan cara yang
paling sempurna. Cara ini diguanakan terutama dalam hal merumuskan tindak
pidana dalam bentuk pokok/standard, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif
maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368
(pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (perusakan).
Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam
kelompok bentuk standard diatas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan
secara sempurna demikian dengan kualifikasi tertentu, misalnya 108
(pemberontakan).
Dimaksudkan unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur
yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini
dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan
tindak pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus
dibuktikan dalam persidangan.
b.
Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif
Dan Mencantumkan Ancaman Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam
merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur
pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu
rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal
242 di beri kualifikasi sumpah palsu, stellionat (305), penghasutan (160),
laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan
oleh pegawai negri (415)
c.
Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah
yang paling sedikit. Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan
ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan
cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu,
misalnya pada kejahatan penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirumuskan dengan
sangat singkat yakni, penganiayaan (mishandeling) diancam dengan pidala penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
2.
Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik
beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan dengan cara
formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana
materiil).
a)
Dengan Cara Formil
perbuatan
pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil
(formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan
dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi
yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang
melawan hukum tertentu. Apabila dengan selesainya
tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan,
maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul
dari perbuatan yang melawan hukum tersebut. Misalnya pasal 362 KUHP
merumuskan kelakuan yang dilarang yaitu mengambil barang yang seluruhnya atau
sebagiannya kepunyaan orang lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup
untuk memidana seseorang, diperlukan pula keadaan yang menyertai pengambilan
itu “ adanya maksud pengambilan untuk memilikunya dengan melawan hukum”.
Unsur
tindak pidana ini dinamakan unsur melawan hukum yang subyektif, yaitu
kesengajaan pengambilan barang itu diarahkan ke perbuatan melawan hukum,
sehingga menjadi unsur objektif bagi para sarjana hukum yang berpendapat
monitis terhadap tindak pidana, atau merupakan unsur actus reus, criminal
act, perbuatan kriminal bagi yang perpendapat dualisasi terhadap tindak
pidana.
b)
Dengan Cara Materiil
Tindak
pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidan
materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil
maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan
pidananya tidak menjadi persoalan. Dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang. Misalnya pada pasal 338 (pembunuhan) yang menjadi larangan ialah
menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain, sedangkan wujud dari perbuatan menghilangkan
nyawa (pembunuhan) itu idaklah menjadi persoalan, apakah dengan menembak,
meracuni dan sebagainya.
Dalam
hubungannya dengan selesainya perbuatan pidana, maka untuk selesinya perbuatan
pidana bukan bergantung pada selesainya wujud berbuatan, akan tetapi bergantung
pada apakah dari wujud perbuatan pidana itu akaibatnya telah timbul apa belum.
Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibatnya belum timbul, maka
perbuatan pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah percobaannya.
3.
Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara
Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan Yang Lebih Ringan
a.
Perumusan Dalam Bentuk Pokok
Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau
pembedaan perbuatan pidana antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk
yang diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara merumuskannya dapat
dibedakan antara merumuskan perbuatan pidana dalam bentuk pokok dan dalam
bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan.
Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan
secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap.
Dengan demikian rumusan bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian
yuridis dari tindak pidana itu. Misalnya pasal 338, 362, 378, 369, 406.
b.
Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang
Diperberat
Rumusan dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih
ringan dari perbuatan pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya
tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut
saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok
(misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan
diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana itu.
Cara yang demikian
dapat diterima, mengingat merumuskan perbuatan pidana prinsip
penghematan kata-kata (ekonomis) namun tegas dan jelas tetap harus dipegang
teguh.
C. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Tindak pidana dapat
dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
1.
Menurut sistem KUHP
Di
dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi
tiga jenis peristiwa pidana yaitu,
a.
Kejahatan (crims)
b.
Perbuatan buruk (delict)
c.
Pelanggaran (contravenrions)
2.
Menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa
pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu “misdrijf” ( kejahatan) dan “overtreding”
(pelanggaran). KUHP tidak memberikan ketentuan syarat-syarat untuk membedakan
kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua yang terdapat dalam buku
II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III adalah
pelangaran.
3.
Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana
dibedakan anatara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak
pidana materiil (materieel delicten)
a.
Tindak pidana formil itu adalah tindak
pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang.
Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum
dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di
muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada
salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan
(pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal
263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
b.
Tindak pidana materiil
adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada
akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). tindak
pidana ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu
telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338
KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
4.
Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan
antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak
sengaja (culpose delicten)
Ø Tindak pidana sengaja (doleus
delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan
kesengajaan atau ada unsur kesengajaan. Sementara itu tindak pidana tidak
sengaja (culpose delicten) adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya mengandung unsur kealpaan yang unsur kesalahannya berupa
kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan.
Contohnya:
Delik kesengajaan: 362 (maksud), 338 (sengaja), 480 (yang
diketahui) dll
Delik culpa: 334 (karena kealpaannya), 359 (karna
kesalahannya).
Gabungan (ganda): 418, 480 dll
5.
Berdasarkan macam perbuatannya: Dapat
dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana
komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut
juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)
Ø Tindak pidana aktif
(delicta commisionis) adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan
aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut perbuatan materiil) adalah perbuatan
yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.
Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara
formil maupun materiil. Sebagian besar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP
adalah tindak pidana aktif.
Berbeda
dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan
atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk
berbuat tertentu, yang apabila tidak dilakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah
melanggara kewajiban hukumnya. Di sini ia telah melakukan tindak pidana pasif.
Tindak pidana ini dapat disebut juga tindak pidana pengabaian suatau kewajiban
hukum. Misalnya pada pembunuhan 338 (sebenarnya tindak pidana aktif),
tetapi jika akibat matinya itu di sebabkan karna seseorang tidak berbuat sesuai
kewajiban hukumnya harus ia perbuat dan karenanya menimbulkan kematian, seperti
seorang ibu tidak mnyusui anaknya agar mati, peruatan ini melanggar pasal 338
dengan seccara perbuatan pasif.
Contohnya:
Delik Aktif: 338, 351, 353, 362 dll.
Delik Pasif: 224, 304, 338 (pada ibu
menyusui), 522.
6.
Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya:
Maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana
terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang
terjadi dalam waktu yang seketika disebut juga dengan aflopende
delicten. Misalnya pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya
selesai, tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna.
Sebaliknya, tindak
pidana yang terjadinya berlangsung lama disebut juga denganvoortderende
delicten. Seperti pasal (333), perampasan kemerdekaan itu berlangsung
lama, bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban
dibebaskan/terbebaskan.
Contohnya:
Delik terjadi seketika: 362,338 dll.
Delik berlangsung terus: 329, 330, 331, 333 dll.
7.
Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara
tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang
dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana
khusus adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
tertentu. Contoh tindak pidana khusus adalah
dalam Titel XXVIII Buku II KUHP : kejahatan dalam jabatan yang hanya dapat
dilakukan oleh pegawai negeri.
Contohnya:
a. Delik umum: KUHP.
b. Delik khusus: UU No. 31 th 1999
tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 th 1997 tentang psikotropika, dll.
8.
Dilihat dari sudut subjek hukumnya: Dapat
dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia) yang dapat
dilakukan siapa saja dan tindak (pidana
propia) dapat dilakukan hanya oleh orang yang memiliki
kualitas pribadi tertentu.
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya,
tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh semua orang (delictacommunia ) dan tindak pidana yang hanya
dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang. Akan
tetapi, ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang berkualitas tertentu saja.
Contohnya:
a)
Delik communia: pembunuhan (338), penganiayaan
(351, dll.
b)
Delik propria: pegawai negri (pada kejahatan
jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran) dll.
9.
Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam
hal penuntutan: maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten)
dan tindak pidana aduan ( klacht delicten).
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang
untuk dilakukannya penuntutan pidana tidak disyaratkan adanya aduan dari yang
berhak. Sedangkan delik aduan adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya
penuntutan pidana disyaratkan adanya aduan dari yang berhak.
Contohnya:
a)
Delik biasa: pembunuhan (338) dll.
b)
Delik aduan: pencemaran (310), fitnah (311),
dll.
10. Berdasarkan
berat dan ringannya pidana yang diancamkan: Maka dapat dibedakan antara tindak
pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) tindak pidana yang diperberat
(gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde
delicten)
Tindak pidana yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan
yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP),
pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman
pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan
kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik
sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
11. Berdasarkan
kepentingan
hukum yang dilindungi: Maka tindak pidana terbatas macamnya bergantung dari
kepentingan hukum yang dilindungi seperti tindak pidana
terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsusan,
tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.
12. Dari
sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara
tindak pidana tunggal (enklevoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten)
Tindak pidana tunggal
adalah tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan yang hanya dilakukan
sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP (Penadahan). Sedangkan yang dimaksud dengan
tindak pidana bersusun adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan.
Contohnya adalah dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan menyimpan barang-barang
curian, contoh ini juga disebutgewoonte delicten (delik kebiasaan)
yang mungkin atau biasa dilakukan oleh tukang rombengan/loak.
D. SUBJEK TINDAK PIDANA
Terkait dengan subjek tindak pidana perlu
dijelaskan, pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa
melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri
orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. Selanjutnya,
dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan (deelneming). Konsep
penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk
mewujudkan atau melakukan tindak pidana.Menjadi persoalan, siapa
dan bagaimana konsep pertanggung jawaban pidana, dalam hukum pidana kualifikasi
pelaku (subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP terdapat lima bentuk yang merupakan subjek
tindak pidana, yaitu sebagai berikut
1.
Mereka yang melakukan (dader). Satu orang
atau lebih yang melakukan tindak pidana.
Menyuruh melakukan
(doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan
sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain
2.
Mereka yang turut serta (medeplegen).
Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga
mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang
diinginkan.
3.
Penggerakan (uitlokking). Penggerakan
atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan melakukan orang lain
melakukan perbuatan dengan cara memberikan/ menjanjikan sesuatu, dengan ancaman
kekerasan, penyesatan menyalahgunakan martababat dan kekuasaan beserta
pemberian kesempatan,sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.
4.
Pembantuan (medeplichtigheid). Pada
pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang
akan ia bantu.
5.
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa unsur
pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat
melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai
dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat
diartikan lain selain dari pada “orang
2.
Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis
pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu :
1. pidana pokok :
a) pidana mati
b) pidana penjara
c) pidana kurungan
d) pidana denda, yang
dapat diganti dengan pidana kurungan
2. pidana tambahan :
a)
pencabutan hak-hak tertentu
b)
perampasan barang-barang tertentu
c)
dimumkannya keputusan hakim
Sifat dari pidana
tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan
pada manusia.
3. Dalam
pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada /
tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat
dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
4. Pengertian kesalahan
yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin
manusia.
Menurut asas-asas hukum
pidana Indonesia, badan hukum tidak dapat mewujudkan tindak pidana. Hoofgerechtshof
van N.I. dahulu di dalam arrestnya tanggal 5 Agustus 1925
(jonkers. 1946: 11) menegaskan dengan alasan bahwa hukum pidana Indonesia
dibentuk berdasarkan ajaran kesalahan Individual. Sistem hukum pidana Indonesia
tidak memungkinkan penjatuhan pidana denda kepada koorporasi, oleh karena pihak
yang dijatuhi pidana denda diberikan pilihan untuk menggantinya dengan pidana
kurungan atau pengganti dengan denda
(pasal 30 (1), (2), (3) dan (4) KUHP).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
menurut saya, kasus pencurian dengan
kekerasan ini tergolong pada Tindakn
pidana berkualifikasi dan formil, karena tindak pidana ini terjadi karena
adanya pelanggaran pada larangan yang dimuat dalam undang – undang (KUHP pasal 362
dan 365 ayat (1) dan (2) ). Pada kasus pencurian dasar (Pokok), pelaku dapat
dituntut maksimal hukuman penjara lima tahun, akan tetapi pada kasus pencurian
ini pelaku melakukan tindakan kekerasan kepada pemilik rumah sehingga keenam
pelaku dapat dijerat pasal 365 KUHP dengan hukuman penjara maksimal dua belas
tahun. Para pelaku pada kasus di atas dianggap cakap hukum, sadar akan
perbuatannya yang melawan hukum dan bertanggungjawab penuh terhadap
perbuatannya, sehingga tidak ada alasan penghapusan pidana. Hukuman yang tepat
diberikan pada mereka, selain merujuk kepada pasal – pasal dalam KUHP, akan
disesuaikan juga dengan keyakinan hakim dan yurisprudensi pada kasus ini.
B. Saran
Dalam Penulisan makalah
ini, saya menyadari masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan.
Untuk itu kepada pembaca kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSAKA
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar